Holy Smoke: Ketika Paus Dipilih, Kimia Bicara — Cerita Asap yang Tak Sekadar Simbol

Setiap kali para kardinal berkumpul di Kapel Sistina untuk memilih seorang Paus baru, dunia seolah menahan napas. Semua mata tertuju pada cerobong kecil yang menjulang dari atap kapel yang penuh karya seni Michelangelo itu. Dan saat asap mulai mengepul—hitam atau putih—jutaan orang di seluruh dunia langsung menerka: apakah sudah terpilih atau belum? Tradisi ini memang kuno, namun di balik kepulan asap itu tersimpan kisah kimia yang sangat menarik, dan mungkin belum banyak diketahui orang.
Jadi, begini ceritanya. Sejak abad ke-15, para kardinal yang tengah berkonklaf membakar kertas suara untuk menjaga kerahasiaan hasil pemungutan suara. Awalnya, pembakaran itu hanya sebatas prosedur biasa. Tapi semuanya berubah saat pada abad ke-18 dipasang cerobong asap di Kapel Sistina. Tujuannya sih sederhana, supaya asap dari pembakaran tidak merusak lukisan dinding yang ikonik itu. Tapi siapa sangka, asap yang tadinya hanya limbah pembakaran itu justru jadi simbol utama konklaf.
Pada abad ke-19, kebiasaan itu berkembang menjadi semacam isyarat visual: jika asap terlihat, itu berarti belum ada Paus terpilih. Tapi kalau tidak ada asap, berarti sudah ada hasil. Masalahnya, cara ini bikin banyak orang bingung. Bayangkan saja menatap langit Roma dan bertanya-tanya, "Itu abu-abu, ya? Putih enggak? Hitam juga bukan…" Maka, mulailah Vatikan berpikir lebih serius soal... asap. Di sinilah kimia mulai unjuk gigi. Untuk membuat sinyal asap lebih jelas, Vatikan memutuskan menggunakan campuran bahan kimia tertentu yang bisa menghasilkan asap hitam pekat atau putih terang dengan konsisten. Dan percayalah, ini bukan sekadar membakar jerami.
Mari kita mulai dengan asap hitam. Yang satu ini, fungsinya simpel: kalau masih belum ada keputusan, keluarkan asap hitam. Dulu, asap hitam dibuat dengan cara yang sangat manual—membakar jerami basah, ter, atau pitch. Teknik ini memang menghasilkan asap yang cukup gelap, tapi juga sangat tidak bisa diprediksi. Kadang warnanya malah keabu-abuan. Tidak ideal untuk sesuatu yang ditonton seluruh dunia. Solusi modern? Campurkan kalium perklorat (KClO₄), antrasen, dan belerang. Nah, kita mulai masuk ke bagian seru. Kalium perklorat adalah senyawa oksidator—artinya, dia suka banget melepas oksigen. Dalam reaksi pembakaran, kehadiran oksidator seperti ini sangat penting karena membantu bahan bakar terbakar lebih cepat dan panas. Kalau diibaratkan pesta, kalium perklorat adalah tamu yang bawa korek dan bensin.
Lalu, ada antrasen. Ini adalah hidrokarbon aromatik, artinya dia punya struktur cincin karbon yang sangat stabil. Tapi karena stabilitas itu pula, antrasen agak pemalu alias susah terbakar. Makanya, kita butuh bantuan dari si belerang (S₈). Belerang punya titik leleh rendah dan mudah terbakar. Ia membantu mencampurkan antrasen dan kalium perklorat dengan lebih baik, sekaligus menaikkan suhu reaksi. Dan hasilnya? Kombinasi ini menghasilkan asap yang tebal dan hitam pekat karena banyak jelaga alias partikel karbon yang tidak terbakar sempurna. Itu yang membuat warnanya legam seperti asap dari ban terbakar.
Sekarang kita pindah ke sisi yang lebih ceria: asap putih. Asap ini muncul ketika sudah ada Paus baru. Dulu, jerami basah juga dipakai di sini, tapi lagi-lagi, hasilnya terlalu random. Kadang putih, kadang malah abu-abu. Jadi, Vatikan mengganti teknik ini dengan cara yang jauh lebih keren: kimia presisi. Resepnya? Kalium klorat (KClO₃), laktosa, dan resin pinus alias rosin. Kalium klorat adalah versi yang lebih reaktif dari kalium perklorat. Bahkan saking reaktifnya, dia bisa jadi berbahaya kalau digabung dengan bahan seperti belerang. Tapi untuk membuat asap putih, justru inilah yang dibutuhkan. Laktosa adalah gula dari susu. Gula ini punya banyak oksigen dalam struktur molekulnya, jadi ketika dibakar, dia menghasilkan uap air dan karbon dioksida. Uap air inilah yang membentuk awan putih saat mengembun di udara dingin.
Lalu, rosin dari getah pinus—ini bahan ajaib. Saat dipanaskan, rosin menghasilkan partikel-partikel kecil dan asap putih yang pekat. Campuran ketiga bahan ini terbakar dengan cepat dan panas, menciptakan kepulan putih yang begitu jelas hingga bisa dilihat dari kejauhan. Efek visualnya seperti kabut tebal yang muncul dari cerobong. Dari sudut pandang ilmiah, ada banyak hal menarik di balik perbedaan asap hitam dan putih ini. Yang satu menghasilkan partikel karbon hitam (jelaga), yang lain menghasilkan partikel air dan resin yang memantulkan cahaya putih. Warna asap sangat bergantung pada partikel apa yang dikandungnya. Jika penuh dengan karbon tak terbakar, warnanya hitam. Jika terdiri dari air dan partikel putih, hasilnya tentu lebih cerah.
Tapi di balik keindahan ini, ada juga pertimbangan lingkungan. Misalnya, pembakaran belerang bisa menghasilkan gas sulfur dioksida yang kurang ramah bagi paru-paru. Lalu, beberapa senyawa aromatik seperti antrasen diketahui bersifat karsinogenik jika terpapar dalam jangka panjang. Itulah kenapa sekarang banyak pertimbangan tambahan soal bahan yang digunakan, bahkan untuk tradisi yang berlangsung cuma beberapa hari setiap beberapa tahun sekali. Meski begitu, kita tidak bisa menyangkal bahwa tradisi ini adalah perpaduan menarik antara simbolisme spiritual dan kecanggihan sains. Siapa sangka, dalam sebuah proses yang sepenuhnya bersifat religius, ada ilmu kimia dan rekayasa pembakaran yang rumit bekerja di belakang layar. Bahkan, beberapa pakar kembang api di Italia dipercaya turut membantu memastikan bahwa asap yang keluar benar-benar sesuai dengan harapan.
Mungkin suatu hari nanti, Vatikan bisa mempertimbangkan untuk menambahkan warna lain—merah muda untuk istirahat makan siang, biru untuk perdebatan yang memanas, atau hijau untuk kabar baik lain. Tapi untuk sekarang, dua warna itu saja sudah cukup membuat dunia menunggu dalam ketegangan dan keajaiban. Begitulah, kisah asap dari Kapel Sistina bukan sekadar ritual kuno. Ia adalah hasil eksperimen sains, keahlian teknik, dan tentunya, semangat tradisi yang tetap hidup hingga kini. Dan saat kita melihat asap itu melayang di langit Roma, kita tahu bahwa kadang, sinyal paling sederhana justru mengandung kisah paling rumit dan menakjubkan.
-ARP-
Reference
Ball, P. (2013, March 13). Science behind the Vatican’s smoke signal explained. BBC News. https://www.bbc.com/news/science-environment-21781637
Bartels, M., & Moskowitz, C. (2013, March 13). The Pyrotechnic Chemistry of the Vatican’s Pope Smoke Signals Explained. Scientific American. https://www.scientificamerican.com/article/the-pyrotechnic-chemistry-of-the-vaticans-pope-smoke-signals-explained/
Lorch, M. (2013, March 14). The science behind the smoke: How chemistry keeps the Vatican informed. The Conversation. https://theconversation.com/the-science-behind-the-smoke-how-chemistry-keeps-the-vatican-informed-13044
Royal Society of Chemistry. (2013, March 13). Smoke signals: the intriguing chemistry of a conclave chimney. https://www.rsc.org/news-events/articles/2013/march/vatican-smoke-signals/
NBC News. (2013, March 12). Conclave smoke signals: A chemistry lesson in papal elections. https://www.nbcnews.com/id/wbna51133760
What's Your Reaction?






