Silika Menembus Batas : Kaca Pelindung Canggih untuk Era Modern

Berbagai benda dibutuhkan untuk kita dapat menjalankan hidup. Benda benda tersebut memiliki karakteristik yang berbeda beda, mulai dari warna, ketahanan, bentuk dan lain lain. Di antara benda benda tersebut material kaca banyak kita temui di benda dening dengan bentuk yang berbeda, seperi pada gelas, jendela, hingga layar ponsel. Kaca yang kita kenal mudah sekali pecah jika terjatuh. Tetapi pernakah kamu terpikir bahwa ada kaca yang tidak mudah pecah bahkan jika terkena peluru? Kaca anti peluru merupakan teknologi modern yang dikembangkan untuk menahan perlindungan dari serangan balistik. Ketika peluru berkecepatan tinggi mengenai kaca tersebut, energi tumbukan dari peluru dapat ditahan oleh kaca sehingga tidak pecah berantakan.
Kaca anti peluru sangat diperlukan terutama dalam aplikasi militer untuk menjaga keselamatan prajurit di baliknya. Salah satu penerapan kaca anti peluru di Indonesia ada di kendaraan Garuda Limousine MV3. Kendaraan ini adalah karya anak bangsa di bawah pengembangan PT. Pindad untuk mewujudkan dan mamajukan kendaraan taktis militer. MV3 Garuda Limousine pertama kali ditampilkan pada pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, memiliki proteksi, performa dan aksesibilitas canggih. Salah satu fitur keamanannya adalah penggunaan kaca anti peluru level B5/B6.
Kaca anti peluru adalah jaca transparan yang terdiri dari banyak lapisan pelindung baik kaca dan plastik, seperti poliuretan, polikarbonat, atau polivinil butiral. Lapisan lapisan ini disusun seperti sandwich untuk memperkuat daya tahannya terhadap tembakan. Tujuannya agar kaca tersebut tetap bisa melindungi dengan baik tanpa meningkatkan berat material. Biasanya untuk menegtahui seberapa kuat kaca ini, para peneliti menggunakan simulasi komputer kemudian dicocokkan dengan hasil uji tembakan sungguhan. Mereka juga meneliti bagaimana urutan lapisan dan jenis plastik yang tepat sehingga bisa memengaruhi kekuatannya (An et al., 2014).
Menariknya, meskipun kaca anti peluru tampak modern dan canggih, bahan dasarnya ternyata sama seperti kaca biasa yang kita temui sehari-hari, yaitu silikon dioksida (SiO₂). Silika atau SiO₂ merupakan gabungan antara unsur silikon (Si) dan oksigen (O) dengan struktur tetrahedral yang tersusun membentuk padatan. Silika banyak ditemukan secara alami akibat proses penguraian batuan beku akibat cuaca, air, suhu dan tekanan, membuatnya terpecah menjadi bagian kecil eperti pasir kuarsa. Di Indonesia silika tersebar luas di berbagai wilayah dengan jumlah fantastis hingga 18.327.462.000 ton. Keberadaannya yang melimpah ini membuat silika banyak dimanfaatkan di berbagai bidang industri seperi kaca, bata tahan api, pengecoran logam, sandblasting, keramik dan semen (Almarabi et al., 2025).
Alasan lainnya silika digunakan dalam berbagai bidang industri adalah berbagai sifat khasnya membuat silika menjadi bahan serbaguna dalam berbagai bidang industri. Silika memiliki ketahanan terhadap suhu yang tinggi karena beru dapat melelh pada suhu 1610°C, tidak mudah larut dalam air dan alkohol namun larut dalam larutan bersifat basa, serta inert atau tidak mudah bereaksi dengan sebagian banyak zat. Karena struktur kimianya yang stabil, SiO₂ menjadi bahan utama dalam pembuatan kaca.
Kaca dapat dibuat dari pasir atau sumber alam yang memiliki sumber silika tinggi. Sumber utama silika dicampur dengan bahan tambahan berupa kalsium karbonat dan natrium karbonat sebagai agen fluks dalam perbandingan 3 : 2 : 1. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tungku muffle dan dipanaskan pada suhu 1500–1600 °C selama 2 jam untuk melelehkan bahan dan membentuk massa kaca. Peran natrium karbonat adalah menurunkan titik leleh pasir silika agar proses lebih efisien secara energi, namun natrium karbonat dapat membuat kaca lebih mudah larut dalam air sehingga kalsium karbonat ditambahkan untuk memperbaikinya. Setelah proses peleburan selesai, lelehan kaca dituangkan ke dalam cetakan untuk didinginkan dan dibentuk sesuai kebutuhan (Okereafor et al., 2020). Dengan cara ini, pasir silika atau sumber silika lainnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kaca berkualitas.
Apabila kita membuka aplikasi belanja online saat ini, kita akan menemukan barang barang yang terbuat dari kaca dengan harga yang murah. Tetapi ribuan tahun lalu, orang orang di Mesir Kuno membuat kaca menjadi barang barang berharga seperti perhiasan. Para pengrajin kaca kuno memulai dengan menghancurkan kerikil kuarsa dan mencampurnya dengan abu tanaman, lalu memanaskannya dalam toples tanah liat bersuhu rendah hingga terbentuk gumpalan kaca. Gumpalan ini kemudian digiling menjadi bubuk halus, dibersihkan, dan diberi zat pewarna logam seperti tembaga atau kobalt untuk menghasilkan warna merah atau biru. Bubuk tersebut dituangkan ke dalam wadah keramik melalui corong tanah liat dan dipanaskan kembali pada suhu tinggi. Setelah mendingin, wadah dipecahkan untuk mengeluarkan cakram kaca padat sebagai hasil akhirnya. Berbeda dengan zaman dahulu ketika kaca dibuat dengan susah payah, saat ini jika kaca pecah, kebanyakan orang akan langsung membuangnya ke tempat sampah tanpa berpikir.
Meskipun proses pembuatan kaca telah mengalami kemajuan pesat, struktur kaca tetap mudah retak dan pecah apabila terkena benturan. Tidak seperti kristal yang tersusun rapi, kaca termasuk padatan amorf dengan struktur atomnya acak dan tak beraturan. Karena tidak memiliki keteraturan jarak jauh (translational symmetry), getaran atom atau fonon tidak bisa menyebar dengan bebas. Akibatnya, energi seperti panas sulit mengalir, membuat kaca cenderung rapuh dan mudah pecah. Para peneliti menemukan bahwa bahan amorf memiliki batas minimum dalam menghantarkan panas, sebagaimana diprediksi oleh Slack pada 1979. Sifat ini menunjukkan bagaimana ketidakteraturan atomik memberi dampak nyata pada kekuatan dan daya tahan kaca.
Siapa sangka, tidak hanya berakhir menjadi gelas minuman di dapur atau olahan lainnya yang sering kita temukan, silika di alam dapat disulap menjadi pelindung transparan yang sanggup menahan peluru. Kaca antipeluru bukan cuma lapisan kaca biasa. Di balik tampilannya yang bening, kaca ini terdiri dari beberapa lapisan pelindung yang saling bekerja sama menahan peluru berkecepatan tinggi. Lapisan pertama adalah kaca keras yang bertugas memecah atau memperlambat peluru. Di bawahnya, ada lapisan perekat seperti PVB yang menyerap gelombang kejut dan menyebarkannya agar tidak terpusat di satu titik. Terakhir, bagian belakang berupa plastik polikarbonat yang lentur berfungsi menahan sisa energi dan mencegah pecahan kaca beterbangan ke dalam. Kombinasi lapisan ini membuat kaca mampu menahan tembakan senjata seperti AK47, sekaligus tetap mempertahankan kejernihan pandangan.
Proses ini tidak hanya memerlukan presisi tinggi untuk memastikan efektivitas perlindungan, tetapi juga menghadapi kesulitan dalam pembentukan kaca lengkung yang sesuai dengan desain tertentu, yang merupakan aspek paling menantang dalam manufaktur kaca antipeluru. Dari sisi ekonomi, biaya produksi dan instalasi kaca antipeluru tergolong tinggi, terutama karena penggunaan material khusus dan proses pemasangan yang rumit, termasuk kebutuhan akan penyegelan dan penambatan yang tepat. Selain itu, produksi kaca antipeluru juga menimbulkan kekhawatiran lingkungan karena melibatkan proses yang memerlukan energi tinggi dan penggunaan material yang sulit didaur ulang. Tantangan-tantangan ini menuntut inovasi berkelanjutan dalam teknologi dan material untuk menghasilkan kaca antipeluru yang lebih efisien, terjangkau, dan ramah lingkungan.
Saat peluru tajam berkecepatan tinggi menghantam kaca antipeluru, lapisan kaca paling depan akan pecah lebih dulu dan membantu merusak peluru tersebut. Energi benturan kemudian menyebar ke seluruh kaca dalam pola seperti kerucut, lalu diteruskan ke bagian belakang berupa lapisan perekat dan polikarbonat. Nah, lapisan polikarbonat ini bekerja seperti bantalan lentur yang mampu menyerap sisa energi dan menahan pecahan kaca maupun bagian peluru yang masih tersisa. Perbedaan sifat antar bahan, misalnya antara kaca dan perekat, mempengaruhi bagaimana gelombang dari benturan itu bergerak dan menyebar.
Standar dan pengujian kaca antipeluru telah diatur dalam EN 1063 yang menjadi acuan dalam menentukan tingkat ketahanan kaca terhadap tembakan. Dalam standar ini, terdapat sembilan kelas balistik, yaitu BR1 hingga BR7 untuk senjata api dan SG1 hingga SG2 untuk senapan berburu. Kelas BR1 hingga BR4 mencakup senjata ringan seperti pistol dan revolver, sedangkan BR5 hingga BR7 diperuntukkan bagi senapan tempur berkecepatan tinggi seperti M16 atau G3, yang dapat menembakkan proyektil dengan kecepatan hingga 950 meter per detik. Prosedur pengujiannya dilakukan dengan menembakkan tiga peluru pada kaca berukuran 500 x 500 mm, membentuk segitiga sama sisi dengan jarak antar tembakan 12 cm. Uji dilakukan dari jarak 5 atau 10 meter dengan sudut tembak 90 derajat. Kaca dianggap lolos apabila tidak tertembus dan tidak menghasilkan serpihan di sisi belakang. Jika kaca juga mampu mencegah keluarnya pecahan kaca ke arah pengguna, maka diberikan label tambahan “NS” atau No Splinters. Evaluasi ini mempertimbangkan massa proyektil, jenis peluru, energi tumbukan, dan kecepatan tembakan, menjadikan setiap kelas balistik mewakili kondisi ancaman nyata yang berbeda.
Melihat kecanggihan kaca anti peluru saat ini, membuat kita bertanya tentang sejauh mana kaca anti peluru akan berkembang untuk menjawab tantangan keamanan di masa depan? Inovasi masa depan membuka peluang bagi hadirnya kaca yang tak hanya tahan terhadap peluru, tetapi juga mampu menyesuaikan transparansi secara otomatis, ringan namun tetap kokoh, bahkan lentur mengikuti desain futuristik. Teknologi nano dan material canggih menjadi kunci bagi kemajuan fungsi ini, membawa kaca ke ranah yang sebelumnya hanya dibayangkan dalam konsep sains fiksi. Dari bayangan ini lahir dorongan untuk kita tidak hanya sekedar ingin tahu, tetapi memiliki ketertarikan untuk terlibat dan menciptakan.
Meski tampak sederhana, lapisan pelindung tambahan pada kaca seperti film polimer atau bahan reflektif memainkan peran besar dalam memperkuat ketahanan terhadap ancaman. Lapisan-lapisan ini bekerja dengan cara menyerap dan menyebarkan energi benturan, mengurangi potensi penetrasi yang membahayakan. Salah satu contohnya adalah penggunaan PVB (polyvinyl butyral) pada kaca laminasi, yang tidak hanya mengikat pecahan kaca tetapi juga membantu menahan tekanan dari sisi luar. Pendekatan ini menunjukkan bahwa perlindungan tidak selalu hadir dari bahan tebal dan berat, tetapi bisa berasal dari elemen ringan yang dirancang dengan cermat. Inilah bukti bahwa dalam setiap lapisan tipis, tersembunyi kemungkinan besar untuk memperpanjang umur kaca antipeluru sekaligus menjawab kebutuhan akan solusi perlindungan yang efisien dan berkelanjutan.
Referensi :
Almarabi, L. M. I., Bakri, H., & Thamsi, A. B. (2025). Studi Kualitas Silika Menggunakan Metode Geokimia Daerah Tahi Ite Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Journal of Engineering Science and Technology Applications, 3(1), 16-23.
An, Y. K., Joo, B. Y., Chung, D. T., & Kang, H. (2014). Finite element simulation of brittle fracture of bulletproof glass system. Applied Mechanics and Materials, 566, 468–473. https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/amm.566.468
Okereafor, U., Makhatha, M., Mekuto, L., & Mavumengwana, V. (2020). Gold mine tailings: a potential source of silica sand for glass making. Minerals, 10(5), 448. https://doi.org/10.3390/min10050448
Thakur, N., Bharj, R. S., & Kumar, P. (2019). Effect of type of adhesive material on the strength of Bullet-Proof Glass: a parametric study. Asian Review of Mechanical Engineering, 8(1), 8–10. https://doi.org/10.51983/arme-2019.8.1.2467
https://pindad.com/pindad-luncurkan-mv3-garuda-limousine-dan-digunakan-presiden-setelah-pelantikan
What's Your Reaction?






