Nobel Kimia 2024: Bagaimana AI dan Desain Protein Mengubah Masa Depan

Oct 10, 2024 - 08:39
Oct 10, 2024 - 13:18
 0  121
Nobel Kimia 2024: Bagaimana AI dan Desain Protein Mengubah Masa Depan

Tahun 2024 membawa terobosan luar biasa dalam dunia ilmu pengetahuan dengan dianugerahkannya Nobel Kimia kepada tiga ilmuwan yang karyanya membawa revolusi dalam cara kita memahami dan memanfaatkan protein. David Baker, Demis Hassabis, dan John Jumper menerima penghargaan ini atas kontribusi besar mereka dalam bidang desain dan prediksi protein. Pencapaian ini bukan hanya mencerminkan pencapaian teknis yang luar biasa, tetapi juga menawarkan harapan baru bagi kemajuan di bidang kesehatan, teknologi material, dan bioteknologi. Melalui perpaduan antara kecerdasan buatan (AI) dan ilmu biologi, para ilmuwan ini telah membuka jalan untuk mengatasi masalah yang sebelumnya dianggap tidak dapat dipecahkan, termasuk memahami bagaimana protein terlipat dan merancang protein baru dengan fungsi khusus.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang pencapaian Hassabis, Jumper, dan Baker, penting untuk memahami konteks historis dan ilmiah dari penelitian ini. Protein adalah salah satu komponen paling mendasar dalam kehidupan, dan memahami bagaimana mereka berfungsi merupakan kunci untuk memahami banyak proses biologis. Dari struktur seluler hingga fungsi metabolisme, protein menjalankan berbagai tugas vital dalam tubuh kita. Misalnya, enzim, yang mempercepat reaksi kimia, adalah jenis protein. Begitu juga antibodi, yang membantu sistem kekebalan tubuh melawan infeksi, dan hormon, yang mengatur berbagai fungsi tubuh.

Semua protein dibentuk dari urutan asam amino, yang dirangkai bersama-sama seperti manik-manik di kalung. Ada 20 jenis asam amino yang berbeda, dan urutannya yang spesifik dalam protein menentukan bagaimana protein tersebut akan terlipat menjadi bentuk tiga dimensi yang kompleks. Proses pelipatan ini sangat penting karena bentuk tiga dimensi protein menentukan bagaimana ia berfungsi. Sebagai contoh, protein hemoglobin yang membawa oksigen di dalam darah hanya dapat berfungsi dengan baik jika terlipat dengan benar. Jika strukturnya terganggu, seperti pada penyakit anemia sel sabit, protein tidak dapat melakukan tugasnya dengan benar, yang mengarah pada kondisi medis yang serius.

Namun, proses pelipatan protein ini bukanlah hal yang sederhana. Meskipun urutan asam amino dalam protein memberikan petunjuk tentang bagaimana protein akan terlipat, ada miliaran kemungkinan cara protein bisa terlipat sebelum menemukan bentuk yang tepat. Proses ini terjadi dengan kecepatan yang menakjubkan di dalam sel kita, tetapi para ilmuwan telah lama berjuang untuk memahaminya. Paradoks Levinthal, yang diusulkan oleh fisikawan Amerika Cyrus Levinthal pada tahun 1969, menggambarkan bahwa secara teoretis, protein harus memerlukan waktu lebih lama dari umur alam semesta untuk menemukan bentuk tiga dimensi yang benar jika melipat secara acak. Namun, dalam kenyataannya, protein dapat melipat hanya dalam beberapa milidetik di dalam sel hidup. Bagaimana protein menemukan bentuk yang benar dalam waktu singkat ini tetap menjadi misteri besar dalam biologi molekuler.

Teka-teki pelipatan protein ini menarik perhatian banyak ilmuwan, dan selama bertahun-tahun, mereka mengembangkan berbagai metode untuk mencoba memahami dan memprediksi proses tersebut. Salah satu teknik yang paling banyak digunakan adalah kristalografi sinar-X, yang memungkinkan para peneliti untuk melihat struktur tiga dimensi protein dengan memaparkan kristal protein ke sinar-X dan menganalisis pola difraksi yang dihasilkan. Teknik ini telah memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana protein terlipat dan berfungsi, tetapi memerlukan waktu yang sangat lama dan sangat mahal. Hanya sekitar 200.000 protein yang telah dikristalkan dan ditentukan strukturnya menggunakan metode ini, yang hanya sebagian kecil dari semua protein yang ada di alam.

Christian Anfinsen, yang memenangkan Nobel Kimia pada tahun 1972, menemukan bahwa informasi tentang cara protein akan terlipat sepenuhnya terkandung dalam urutan asam amino protein itu sendiri. Namun, meskipun penemuan ini merupakan terobosan besar, para ilmuwan masih belum dapat memprediksi bagaimana protein akan terlipat hanya berdasarkan urutan asam aminonya. Inilah yang menjadikan prediksi struktur protein sebagai salah satu tantangan terbesar dalam biokimia selama lebih dari setengah abad.

Kemudian, pada tahun 2020, AlphaFold, sebuah model kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh DeepMind, laboratorium AI milik Google, berhasil memecahkan masalah ini. Demis Hassabis dan John Jumper, dua pemimpin di balik pengembangan AlphaFold, berhasil menciptakan model yang dapat memprediksi struktur protein berdasarkan urutan asam amino dengan akurasi yang belum pernah dicapai sebelumnya. Dalam kompetisi Critical Assessment of Protein Structure Prediction (CASP), yang diadakan setiap dua tahun untuk menilai kemajuan dalam prediksi struktur protein, AlphaFold berhasil mencapai akurasi hampir 90% pada tahun 2020, dibandingkan dengan metode sebelumnya yang hanya mampu mencapai sekitar 40%.

Keberhasilan AlphaFold adalah hasil dari kombinasi beberapa teknologi AI canggih, termasuk jaringan saraf tiruan dan model pembelajaran mendalam (deep learning). Dengan menggunakan data dari jutaan protein yang telah diketahui strukturnya, AlphaFold dapat "belajar" pola-pola dalam pelipatan protein dan kemudian menerapkannya pada protein baru yang belum pernah diteliti sebelumnya. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk memprediksi struktur protein dalam hitungan jam atau bahkan menit, dibandingkan dengan waktu bertahun-tahun yang dibutuhkan untuk menentukan struktur protein menggunakan metode eksperimental seperti kristalografi sinar-X atau spektroskopi resonansi magnet inti (NMR).

Implikasi dari penemuan ini sangat luas, terutama dalam bidang kesehatan. Banyak penyakit manusia disebabkan oleh protein yang tidak terlipat dengan benar atau oleh mutasi dalam protein yang mengubah strukturnya. Dengan kemampuan untuk memprediksi struktur protein dengan akurat, para ilmuwan sekarang dapat lebih memahami bagaimana mutasi tertentu menyebabkan penyakit, yang pada gilirannya dapat membantu dalam pengembangan obat-obatan baru yang lebih efektif. Misalnya, beberapa penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer dan Parkinson diyakini disebabkan oleh penumpukan protein yang salah terlipat di otak. Dengan menggunakan AlphaFold, para ilmuwan dapat mempelajari struktur protein-protein ini dan mengembangkan terapi yang dapat mencegah atau membalikkan proses pelipatan yang salah.

Selain itu, AlphaFold juga memiliki potensi besar dalam pengembangan obat-obatan baru. Banyak obat modern bekerja dengan mengikat protein tertentu dan mengubah cara protein tersebut berfungsi. Dengan kemampuan untuk memprediksi struktur protein secara akurat, para ilmuwan dapat merancang obat yang lebih baik dan lebih tepat sasaran. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, obat-obatan yang disebut inhibitor enzim telah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk kanker, penyakit jantung, dan infeksi virus. Inhibitor ini bekerja dengan mengikat situs aktif pada enzim tertentu dan menghentikan enzim dari melakukan fungsinya. Dengan menggunakan AlphaFold, para ilmuwan dapat lebih mudah menemukan situs aktif ini dan merancang inhibitor yang lebih efektif.

Namun, prediksi struktur protein hanyalah setengah dari cerita. Sementara Hassabis dan Jumper berhasil memecahkan masalah prediksi, David Baker, seorang ahli biokimia dari University of Washington, telah membawa revolusi lain dalam bidang biologi molekuler dengan pendekatan komputasi untuk desain protein. Alih-alih hanya memprediksi struktur protein yang ada, Baker dan timnya telah mengembangkan teknik untuk merancang protein baru dari awal yang tidak ada di alam. Melalui perangkat lunak Rosetta, yang dirancang oleh Baker, para ilmuwan dapat merancang protein dengan urutan asam amino yang spesifik untuk membentuk struktur dan fungsi tertentu. Ini membuka pintu bagi aplikasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagai contoh, salah satu aplikasi yang paling menjanjikan dari desain protein adalah dalam pengembangan vaksin baru. Dengan merancang protein yang dapat meniru bagian spesifik dari virus, para ilmuwan dapat menciptakan vaksin yang lebih efektif dan lebih cepat daripada metode tradisional. Misalnya, selama pandemi COVID-19, para ilmuwan menggunakan desain protein untuk mengembangkan vaksin yang dapat menargetkan protein lonjakan virus SARS-CoV-2 dengan presisi yang tinggi.

Selain itu, desain protein juga memiliki potensi besar dalam pengobatan kanker. Dengan merancang protein yang dapat mengenali dan menyerang sel-sel kanker secara spesifik, para ilmuwan dapat mengembangkan terapi yang lebih efektif dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan kemoterapi tradisional. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian tentang imunoterapi kanker telah menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh dapat dilatih untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel kanker. Dengan desain protein, para ilmuwan dapat mempercepat pengembangan terapi ini dengan menciptakan protein yang dapat merangsang respon imun yang lebih kuat dan lebih spesifik terhadap tumor.

Tidak hanya dalam bidang kesehatan, desain protein juga memiliki aplikasi yang luas dalam bidang teknologi material dan lingkungan. Protein adalah molekul yang sangat serbaguna, dan dengan kemampuan untuk merancang protein dengan sifat-sifat tertentu, para ilmuwan dapat menciptakan material baru yang lebih kuat, lebih fleksibel, dan lebih ramah lingkungan. Salah satu contohnya adalah pengembangan material nano yang terbuat dari protein yang bisa berubah bentuk tergantung pada kondisi lingkungannya. Ini bisa sangat berguna dalam industri teknologi, di mana material dengan sifat yang dapat diubah secara dinamis akan sangat berharga.

Di bidang lingkungan, protein buatan juga dapat digunakan untuk membersihkan polusi. Misalnya, para ilmuwan telah merancang protein yang dapat memecah bahan kimia beracun di lingkungan, seperti logam berat dan polutan organik. Protein ini dapat digunakan dalam sistem penyaringan air atau teknologi pengolahan limbah untuk menghilangkan kontaminan dengan cara yang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan metode tradisional.

Dengan segala inovasi ini, jelas bahwa desain dan prediksi protein memiliki potensi besar untuk mengubah banyak aspek kehidupan kita. Namun, seperti semua teknologi baru, ada tantangan yang harus diatasi. Salah satu tantangan utama adalah bahwa meskipun kita sekarang dapat memprediksi dan merancang protein dengan akurasi yang tinggi, masih ada banyak hal yang belum kita pahami tentang dinamika protein. Protein adalah molekul yang sangat dinamis, dan cara mereka bergerak dan berubah bentuk dalam tubuh seringkali lebih penting daripada struktur statisnya. Oleh karena itu, salah satu arah penelitian di masa depan adalah mengembangkan alat yang dapat memprediksi tidak hanya struktur protein, tetapi juga bagaimana protein berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan bagaimana mereka berubah seiring waktu.

Penemuan yang dihasilkan oleh Hassabis, Jumper, dan Baker bukan hanya pencapaian teknis yang luar biasa, tetapi juga membawa implikasi yang sangat besar bagi masa depan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nobel Kimia 2024 adalah pengakuan atas kontribusi mereka dalam mengubah cara kita memahami dan menggunakan protein. Dengan kemampuan untuk memprediksi dan merancang protein, kita sekarang memiliki alat yang kuat untuk mengatasi beberapa tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia, dari penyakit hingga polusi dan krisis energi.

Di masa depan, kita dapat mengharapkan lebih banyak inovasi di bidang ini, termasuk pengembangan protein buatan yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi industri dan lingkungan, serta terapi baru untuk penyakit yang sebelumnya tidak dapat diobati. Apa yang telah dicapai oleh para pemenang Nobel Kimia 2024 hanyalah awal dari revolusi yang lebih besar dalam biologi molekuler, dan kita berada di ambang perubahan besar dalam cara ilmu pengetahuan bekerja.

∼ARP∼

Referensi

  1. Anfinsen, C.B. (1973). Principles that Govern the Folding of Protein Chains. Science, 181(4096), 223-230. https://doi.org/10.1126/science.181.4096.223

  2. Baker, D., & Sali, A. (2001). Protein Structure Prediction and Structural Genomics. Science, 294(5540), 93-96. https://doi.org/10.1126/science.1065659

  3. Callaway, E. (2020). ‘It Will Change Everything’: AI Makes Gigantic Leap in Solving Protein Structures. Nature, 588, 203-204. https://doi.org/10.1038/d41586-020-03348-4

  4. Hassabis, D., & Jumper, J. (2020). Highly Accurate Protein Structure Prediction with AlphaFold. Nature, 596(7873), 583-589. https://doi.org/10.1038/s41586-021-03819-2

  5. Kendrew, J.C., Bodo, G., Dintzis, H.M., Parrish, R.G., Wyckoff, H., & Phillips, D.C. (1958). A Three-Dimensional Model of the Myoglobin Molecule Obtained by X-ray Analysis. Nature, 181(4610), 662-666. https://doi.org/10.1038/181662a0

  6. Moult, J., Fidelis, K., Zemla, A., & Hubbard, T. (2002). Critical Assessment of Methods of Protein Structure Prediction (CASP)—Round IV. Proteins: Structure, Function, and Genetics, 5(1), 2-7. https://doi.org/10.1002/prot.10049

  7. Senior, A.W., Evans, R., Jumper, J., Kirkpatrick, J., Sifre, L., Green, T., Qin, C., et al. (2020). Improved Protein Structure Prediction Using Potentials from Deep Learning. Nature, 577, 706-710. https://doi.org/10.1038/s41586-019-1923-7

  8. Tunyasuvunakool, K., Adler, J., Wu, Z., Green, T., Zielinski, M., Zidek, A., Bridgland, A., et al. (2021). Highly Accurate Protein Structure Prediction for the Human Proteome. Nature, 596(7873), 590-596. https://doi.org/10.1038/s41586-021-03828-1

  9. Zwanzig, R., Szabo, A., & Bagchi, B. (1991). Levinthal’s Paradox. Proceedings of the National Academy of Sciences, 89(1), 20-22. https://doi.org/10.1073/pnas.89.1.20

  10. Åqvist, J. (2024). Computational Protein Design and Protein Structure Prediction. Scientific Background to the Nobel Prize in Chemistry 2024. The Royal Swedish Academy of Sciences. Retrieved from https://www.kva.se/nobelprize-chemistry-2024

  11. Fernholm, A. (2024). Popular Science Background to the Nobel Prize in Chemistry 2024. The Royal Swedish Academy of Sciences. Retrieved from https://www.kva.se/nobelprize-chemistry-2024

  12. Jumper, J., Evans, R., Pritzel, A., et al. (2021). AlphaFold Protein Structure Database: Massively Expanding the Structural Coverage of Protein-Sequence Space with High-Accuracy Models. Nucleic Acids Research, 50(D1), D439-D444. https://doi.org/10.1093/nar/gkab1061

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow