Permendikbudristek 44/2024: Meningkatkan Martabat Dosen atau Menambah Beban?

Oct 11, 2024 - 15:36
Oct 15, 2024 - 14:25
 0  96
Permendikbudristek 44/2024: Meningkatkan Martabat Dosen atau Menambah Beban?

Pada September 2024, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menandatangani Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 44 Tahun 2024 yang menjadi sorotan besar di dunia akademik Indonesia. Peraturan ini dirancang untuk merombak tata kelola profesi, karier, dan penghasilan dosen di seluruh perguruan tinggi Indonesia. Dari perspektif birokrasi, peraturan ini tampak menjanjikan solusi yang telah lama dinantikan oleh para dosen—penyederhanaan proses pengangkatan dan pengelolaan karier, jaminan hak ketenagakerjaan yang lebih jelas, dan pengurangan beban administratif yang selama ini membebani tugas pokok dosen dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun, di balik janji manis ini, perdebatan besar masih berlangsung: Apakah aturan ini benar-benar akan meningkatkan martabat profesi dosen, atau justru menambah beban baru yang harus mereka tanggung?

Selama beberapa dekade, profesi dosen di Indonesia berada dalam situasi yang tidak sepenuhnya jelas, baik dari segi status, penghasilan, maupun pengembangan karier. Berbagai kebijakan yang ada sebelumnya sering kali tumpang tindih, menciptakan ketidakpastian bagi banyak dosen yang berjuang meniti karier akademik. Pengangkatan yang rumit, syarat kenaikan jabatan yang berbasis angka kredit yang tidak selalu mencerminkan kualitas dosen, serta disparitas penghasilan antara dosen di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menjadi masalah klasik yang seakan tak kunjung mendapatkan solusi. Permendikbud Ristek 44/2024 datang sebagai respons terhadap berbagai keluhan tersebut, dengan janji reformasi yang mengesankan.

Namun, sebagaimana setiap kebijakan baru, pelaksanaannya tidak akan lepas dari tantangan. Salah satu aspek utama yang disoroti dalam peraturan ini adalah upaya penyederhanaan birokrasi. Sebelumnya, dosen harus melalui proses administratif yang panjang dan berbelit untuk mendapatkan pengangkatan, perpindahan, atau kenaikan jabatan akademik. Dalam peraturan ini, pengelolaan karier dosen kini lebih banyak dipercayakan kepada perguruan tinggi, dengan harapan proses ini akan lebih cepat dan efisien. Perguruan tinggi, terutama PTN dengan otonomi yang lebih besar, diharapkan mampu menjalankan sistem baru ini dengan lebih baik. Namun, sejauh mana ini bisa benar-benar berjalan efektif?

Otonomi yang lebih besar memang tampak menarik di atas kertas, tetapi ada kekhawatiran bahwa beberapa perguruan tinggi, terutama yang memiliki sumber daya terbatas, mungkin tidak siap untuk mengelola otonomi ini dengan baik. Perguruan tinggi di daerah-daerah terpencil, misalnya, sering kali kesulitan dalam hal pendanaan dan sumber daya manusia. Kebijakan yang memberikan lebih banyak tanggung jawab kepada perguruan tinggi dalam pengelolaan karier dosen bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, perguruan tinggi memiliki lebih banyak fleksibilitas untuk mengatur sistemnya sendiri, tetapi di sisi lain, tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah pusat, otonomi ini justru bisa menciptakan kesenjangan yang lebih besar antar perguruan tinggi.

Selain otonomi, peraturan ini juga memperkenalkan perubahan signifikan dalam proses kenaikan jabatan akademik. Dosen yang ingin naik jabatan kini harus melalui uji kompetensi. Uji kompetensi ini diharapkan dapat menggantikan sistem lama yang berbasis angka kredit, yang selama ini dianggap tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas seorang dosen. Sistem angka kredit sering kali dikritik karena terlalu birokratis, di mana dosen lebih fokus mengumpulkan dokumen administratif daripada benar-benar menunjukkan kompetensi mereka dalam pengajaran atau penelitian. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana mekanisme uji kompetensi ini akan berjalan? Apakah uji kompetensi ini akan adil dan bisa diakses oleh semua dosen di berbagai daerah?

Banyak dosen, terutama yang berada di daerah atau di PTS dengan sumber daya terbatas, merasa khawatir bahwa uji kompetensi ini akan menjadi hambatan baru bagi mereka. Uji kompetensi memerlukan dukungan infrastruktur dan pelatihan, yang mungkin tidak dimiliki oleh semua perguruan tinggi. Jika tidak ada pelatihan yang memadai, banyak dosen yang berpotensi gagal dalam uji kompetensi ini, yang pada akhirnya bisa menghambat pengembangan karier mereka. Kekhawatiran ini sangat relevan, terutama mengingat disparitas antara PTN dan PTS dalam hal dukungan sumber daya.

Masalah disparitas ini tidak hanya menyangkut proses pengembangan karier, tetapi juga penghasilan. Penghasilan dosen di PTS sering kali jauh di bawah standar, dengan banyak dosen yang mengeluhkan upah yang tidak sebanding dengan beban kerja yang harus mereka jalani. Di sisi lain, dosen di PTN umumnya mendapatkan penghasilan yang lebih baik, termasuk tunjangan yang lebih memadai. Dalam peraturan baru ini, tidak ada solusi konkret yang ditawarkan untuk mengatasi kesenjangan ini. Bagi banyak dosen di PTS, janji perbaikan dalam peraturan ini terasa hampa jika masalah penghasilan tidak diselesaikan terlebih dahulu.

Selain penghasilan, beban administratif juga menjadi salah satu isu yang paling sering disoroti dalam peraturan ini. Selama ini, banyak dosen merasa kewalahan dengan beban administratif yang harus mereka tangani, terutama terkait Beban Kerja Dosen (BKD) yang sering kali dianggap tidak relevan dengan tugas pokok mereka sebagai pendidik dan peneliti. Permendikbud Ristek 44/2024 berjanji untuk mengurangi beban administratif ini dengan penyederhanaan proses dan lebih fokus pada kompetensi. Namun, apakah ini benar-benar akan mengurangi beban administratif, atau justru menambah kompleksitas baru?

Dalam praktiknya, banyak kebijakan pendidikan di Indonesia yang sering kali sulit diimplementasikan karena berbagai faktor, termasuk kurangnya sosialisasi yang baik dan panduan yang jelas. Dosen sering kali harus menyesuaikan diri dengan peraturan baru yang muncul tanpa adanya panduan yang memadai dari pemerintah atau pihak perguruan tinggi. Hal ini bisa menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian di lapangan. Jika peraturan ini tidak diimplementasikan dengan baik, ada risiko bahwa ia hanya akan menambah beban administratif, bukan menguranginya.

Namun, di balik semua tantangan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa Permendikbud Ristek 44/2024 juga memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu potensi terbesar adalah peningkatan kualitas pengajaran dan penelitian. Dengan adanya sistem yang lebih jelas dan fokus pada kompetensi, diharapkan dosen bisa lebih fokus pada tugas utama mereka dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Jika beban administratif benar-benar dikurangi dan sistem birokrasi disederhanakan, dosen akan memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk berkonsentrasi pada pengajaran dan penelitian.

Selain itu, peraturan ini juga berpotensi menarik lebih banyak talenta baru ke dunia akademik. Banyak generasi muda yang sebelumnya ragu untuk menjadi dosen karena tidak adanya kepastian karier dan penghasilan. Dengan adanya peraturan baru ini, yang memberikan jaminan hak ketenagakerjaan dan kepastian karier, generasi muda yang tertarik pada dunia akademik mungkin akan lebih terdorong untuk bergabung. Hal ini bisa menjadi angin segar bagi perguruan tinggi di Indonesia yang sering kali kesulitan menarik dosen baru yang berkualitas.

Namun, untuk mencapai semua potensi positif ini, implementasi peraturan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh komitmen. Pemerintah, perguruan tinggi, dan dosen harus bekerja sama untuk memastikan bahwa peraturan ini benar-benar diterapkan dengan baik di lapangan. Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah dengan menyediakan pelatihan dan pendampingan bagi dosen dalam menghadapi uji kompetensi dan proses kenaikan jabatan baru. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa ada dukungan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, terutama di PTS yang sering kali kekurangan dana. Pengawasan juga menjadi faktor kunci dalam kesuksesan peraturan ini. Pemerintah perlu membentuk tim pengawas independen yang bertugas memantau implementasi peraturan ini di seluruh perguruan tinggi, baik di PTN maupun PTS. Tim ini harus memastikan bahwa peraturan ini tidak hanya menjadi formalitas di atas kertas, tetapi benar-benar membawa perubahan nyata di lapangan.

Pada akhirnya, Permendikbud Ristek 44/2024 adalah sebuah kebijakan yang penuh dengan harapan dan tantangan. Jika diterapkan dengan baik, ia berpotensi menjadi tonggak penting dalam reformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, tanpa dukungan yang memadai, baik dari segi anggaran, pelatihan, maupun pengawasan, peraturan ini berisiko menjadi beban baru bagi dosen, bukannya solusi yang mereka butuhkan.

∼ARP∼

Referensi

  1. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2024). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen. Jakarta: Kemendikbudristek.

  2. Kemendikbudristek RI. (2024). Paparan Sosialisasi Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024. Jakarta: Kemendikbudristek.

  3. Kompasiana. (2024). Permendikbud Ristek Nomor 44 Tahun 2024, Janji Manis Menteri di Penghujung Jabatan. Diakses dari https://www.kompasiana.com.

  4. Informasi Terkait Permendikbud Nomor 44 Tahun 2024 Tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen – Layanan Dosen. (2024). Diakses dari https://pusatinformasi.sister.kemdikbud.go.id.

  5. Kompas.com. (2024). Tantangan Perguruan Tinggi dalam Menerapkan Otonomi Pengelolaan Karier Dosen. Diakses dari https://www.kompas.com.

  6. Sudibyo, H., & Prasetyo, A. (2023). Birokrasi Pendidikan Tinggi di Indonesia: Tantangan dan Solusi. Jurnal Pendidikan Tinggi Indonesia, 12(3), 45-56.

  7. Arifin, Z. (2024). Peningkatan Kualitas Dosen di Indonesia: Peran Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Pustaka Akademika.

  8. Raharjo, W. (2024). Ketimpangan Penghasilan Dosen di PTN dan PTS: Studi Kasus pada Beberapa Universitas di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pendidikan, 10(1), 23-34.

Files

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow