Belajar Filosofi Kinetik dari Pembuatan Larutan Karboksimetil Selulosa
Tulisan ini diangkat dari kisah nyata yang saya alami pada saat diminta membantu melanjutkan pengembangan proyek hibah dari seorang dosen pembimbing di Departemen Kimia. Sedikit informasi, proyek hibah tersebut mengembangkan tentang pembuatan polibag multifungsi-pelepaslambat pupuk, penambah sumber karbon organik, dan sekaligus bersifat antibakteri-yang berasal dari bioplastik berbasis polimer organik. Adapun polimer organik yang kami gunakan adalah karboksimetil selulosa atau biasa dikenal dengan singkatan CMC. CMC ini biasa digunakan dalam industri pangan sebagai agen pengental atau thickener. Nah, tentunya ada sedikit cerita yang saya anggap menarik dan mengajari saya tentang filosofi kinetik.
Secara umum, pembuatan larutan CMC sebagai basis bioplastik tergolong cukup mudah dan sederhana. Katakanlah dipreparasi larutan CMC dengan konsentrasi 5% massa sebanyak 100 mL. dikatakan sederhana karena bahan pembuatannya hanya terdiri dari serbuk CMC yang berwarna putih dan akuades, sedangkan alat yang menyertainya adalah gelas beaker, pengaduk magnet, hotplate, cawan kaca, dan neraca analitis serta sendok. Dalam pikiran saya waktu itu, saya hanya perlu menimbang sekian gram serbuk CMC kemudian melarutkannya ke dalam akuades 100 mL sambil diaduk. Itu pun juga sudah didukung dengan saya membaca beberapa referensi berupa artikel jurnal yang menjelaskan proses pembuatan larutan CMC maupun polimer lainnya, baik yang terindeks Scopus maupun tidak. Prosesnya memang seperti itu, sederhana dan mudah bukan? Sangat mudah tentunya dan saya pun optimis waktu itu.
Namun, saya keliru. Realita tidak seindah angan yang saya pikirkan. Membuat larutan CMC dengan konsentrasi 5% sebanyak 100 mL tidak semudah yang saya harapkan. Ketika saya menambahkan serbuk CMC ke dalam gelas beaker yang berisi 100 mL akuades sambil diaduk, ternyata serbuk CMC tidak mau larut. Benar-benar tidak mau larut. Saya duduk di kursi lab yang kecil berwarna coklat. Sejenak saya berpikir kenapa bisa seperti ini. Bukankah CMC memiliki banyak gugus hidroksi yang mempengaruhi tingginya kelarutan dalam air? Pikiran saya berkecamuk. Saya bergegas bangkit dan mengulangi dari awal. Hasilnya tetap sama, nihil. Serbuk CMC sebanyak 5 gram yang saya masukkan ke dalam akuades pun tetap tidak larut dengan sempurna, malah kini membentuk gumpalan di tengah pusaran akuades yang tengah diaduk menggunakan pengaduk magnet dan hotplate.
Beberapa saat kemudian, saya pun kembali mencoba membuat larutan CMC 5% dari awal. Kali ini, proses pengadukan saya lengkapi dengan penambahan panas sekitar tujuh puluh derajat Celcius dengan harapan serbuk CMC semakin mudah larut. Hasilnya sedikit melegakan. Alhamdulillah, ada rasa senang dalam hati meskipun masih tetap ada gumpalan besar di dinding gelas beaker. Saya putuskan berpikir kembali untuk menganalisis fenomena ini.
Sambil duduk di kursi dan melepas jas laboratorium yang saya kenakan, pikiran saya tertuju pada mata kuliah spektroskopi anorganik yang pernah saya ambil sewaktu semester dua di jenjang pendidikan magister. Sedikit menilik ke belakang, mata kuliah spektroskopi anorganik berisi pembelajaran tentang bagaimana cara mengidentifikasi atau mengkarakterisasi material anorganik dan kompositnya menggunakan dasar spektroskopi. Adapun kajian spektroskopi yang dibicarakan waktu itu adalah spektra infra merah dan difraksi sinar-X untuk menganalisis material anorganik seperti zeolit dan lempung alam. Ada satu hal menarik yang berkesan dari pembelajaran tersebut, yakni kami satu kelas diajak berkenalan dengan filosofi kinetik oleh dosen senior kami. Beliau menceritakan bahwa ilmu kimia mengkaji reaksi kimia melalui dua buah pendekatan, yakni pendekatan termodinamik dan pendekatan kinetik.
Seingat saya, beliau menyampaikan dengan sangat baik bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki banyak perbedaan mendasar dalam menjelaskan reaksi kimia. Pendekatan termodinamik menjelaskan tentang sifat reaksi kimia yang berlangsung cepat, semu, instan, dan terkesan asal-asalan. Sebagai contoh adalah reaksi kimia dalam pembakaran gas elpiji. Gas elpiji yang didominasi oleh senyawa butana dibakar dengan gas oksigen dapat langsung menghasilkan gas karbok dioksida dan sedikit uap air. Reaksi kimia ini berlangsung spontan dan cepat. Yang kedua, saya ingat beliau juga menjelaskan pendekatan kinetik. Pendekatan kinetik menjelaskan tentang sifat reaksi kimia yang berlangsung bertahap, nyata, dan tidak semu. Bahkan, beliau menambahkan pendekatan kinetik ini mencerminkan kehati-hatian, rendah hati, bersahaja, dan bahkan penuh ketenangan. Sebagai contoh pendekatan kinetik adalah pada reaksi kimia yang melibatkan senyawa kompleks anorganik-organik maupun reaksi-reaksi organik berupa subtitusi dan eliminasi. Pada reaksi-reaksi tersebut, beberapa pereaktan saling bereaksi membentuk senyawa intermediet terlebih dahulu, baru kemudian menjadi senyawa produk sebagai hasil final. Saya yang mendengar penjelasan beliau langsung bergumam dalam hati, “kok bisa ya pendekatan kinetik diasumsikan sebagai proses yang bertahap, kesahajaan, kehati-hatian, dan bahkan penuh ketenangan.
Usut punya usut, ternyata pendekatan kinetik ini mengajarkan tentang bagaimana kita belajar menghargai adanya proses. Saya ambil contoh pada reaksi subtitusi maupun eliminasi senyawa organik dimana sebelum pereaktan menjadi produk akan dihasilkan beberapa senyawa transisi atau intermediet. Dalam menerapkan pendekatan kinetik, saya diajari untuk memperhatikan setiap detail langkah/proses yang menyertai suatu reaksi kimia, dianalisis tiap tahapnya, dan disempurnakan jika ada kekurangan agar didapatkan produk yang baik. Prinsip kehati-hatian dan ketenangan juga memegang peranan tersendiri dalam memperhatikan keberlangsungan reaksi kimia yang sedang berjalan. Saya tertegun. Ini pembelajaran kimia tapi kenapa bisa sampai ke ranah kehidupan. Benar-benar mengena sekali. Di akhir, beliau dosen pengampu berkata, “Don’t be termodinamic, be kinetics”.
Kembali ke pembuatan larutan CMC yang sedang saya hadapi waktu itu. Setelah sempat bernostalgia sejenak dengan pendekatan kinetik, saya mencoba untuk menerapkan pola “be kinetics” untuk melanjutkan pembuatan larutan CMC. Mau tidak mau, saya ulangi kembali semua langkahnya dari awal. Saya menimbang sebanyak 5 gram serbuk CMC dengan tenang dan penuh kehati-hatian. Saya tambahkan sedikit demi sedikit serbuk CMC di atas cawan kaca dalam neraca analitik untuk ditimbang. Angka digital perlahan-lahan menunjukkan peningkatan menuju 5 gram. Alhamdulillah tepat 5 gram saya menimbang serbuk CMC.
Filosofi kinetik ini tidak berhenti sampai di situ saja. Pada saat pelarutan serbuk CMC, saya menuangkan sedikit demi sedikit serbuk CMC ke dalam akuades yang diaduk dengan pengaduk magnet sambil dipanasi di atas hotplate. Sedikit demi sedikit serbuk CMC yang saya tuang kemudian saya amati dengan seksama. Alhamdulillah larut. Saya lanjutkan melakukan hal yang sama hingga seluruh 5 gram serbuk CMC habis dari cawan kaca. Kini, larutan CMC telah terbentuk dan bersifat homogen. Terkesan lama memang, namun tidak mengapa selagi saya bisa mendapatkan hasilnya yang larut sempurna dan homogen. Jadi, kesimpulannya adalah filosofi kinetik mengajari saya untuk memperhatikan dan menghargai setiap proses dari tindakan apapun, baik yang berkaitan dengan ilmu kimia maupun kehidupan sehari-hari. Sebagai akhir dari tulisan ini, memang benar bahwa ada pepatah yang mengatakan “proses tidak akan mengkhianati hasil”. Menghargai setiap proses dengan baik, penuh kehati-hatian, dan diilhami dengan ketenangan maka akan kita dapatkan hasil optimum sesuai yang kita harapkan.
Ngaglik, 24 Agustus 2021
What's Your Reaction?